Seandainya
Aku Seorang Jaksa Agungoleh: Iwan
Berita di koran itu mengagetkanku. Tertulis, Jaksa Agung Andi Ghalib diduga telah disuap Rp 9 miliar oleh Prajogo Pangestu dan The Nin King,
serta sejumlah konglomerat yang baru-baru ini diperiksa Kejaksaan Agung. Mataku membaca kata demi kata, baris demi baris, kalimat demi
kalimat, hingga paragraf demi paragraf pada berita itu. Aku semakin terpana..
Kaget. Kini reformasi, masa selepas lengsernya Soeharto, dengan program utamanya memberantas kasus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Tugas utama itu berada di pundak Jaksa Agung sebagai pembantu Presiden.
Kekagetanku ini kudiamkan saja. Tidak kuizinkan mengembara ke mana-mana. Hanya, tiba-tiba, muncul saja hati kecilku berkaca pada diriku.
Berhadap-hadapan. Berdialog.
"Kamu jangan sekadar kaget. Ini realitas. Seandainya kamu jadi Jaksa Agung, apa yang akan kamu lakukan?" tanya hati kecilku.
"Aku?" jawabku kaget, nyaris suratkabar terlepas dari genggamanku.
Benar, pertanyaan ini lebih mengagetkanku. Pertanyaan ini tidak pernah kusangka sama sekali.
"Ya."
"Aku bukan ahli hukum. Jadi, aku tak tahu mau jawab apa…," jawabku.
"Aku tahu, kamu bukan ahli hukum. Kita sedang berandai-andai. Seandainya kamu jadi Jaksa Agung, apa yang akan kamu lakukan?" tanya hati
kecilku mencecar.
"Aku… Aku…," ujarku tak tentu.
"Kok bengong?"
"Ya, mau jawab apa? Aku tak tahu," jawabku kesal.
"Kamu harus jawab. Permasalahannya sederhana. Keadilan. Kamu tentu mengerti adil dan keadilan, bukan?!" ungkap hati kecilku.
"Aku hanya dapat merasakan adil dan keadilan. Tapi permasalahan adil dan keadilan itu, aku tidak mengerti…," kataku.
"Ah, hatimu tertutup. Bukalah. Bukalah pintu hatimu lebar-lebar. Jangan kau tutup begitu," perintah hati kecilku.
Aneh. Entah bagaimana, tiba-tiba dengan begitu saja pintu hati itu terbuka lebar. Lebar sekali, sehingga cahaya dari luar masuk ke dalam.
Terang sekali. Dalam ruang itu tampak sudut hati ini dengan jelas. Bahkan sudut-sudutnya disibakkan cahaya. Kalau saja ada semut, bahkan
kutu sekalipun, yang berjalan di ruang hati ini, akan tampak jelas.
Selain cahaya menerangi ruang hati ini, udara segar pun masuk. Kepengapan yang bersemayam di hatiku selama ini, begitu saja dihembuskan
oleh angin segar yang masuk dari luar. Seketika udara pun berganti. Kini aku bisa menghirup udara bersih, sehingga otakku pun tidak pepat
lagi.
"Pintu hatimu sudah terbuka. Rasakanlah perbedaannya….," kata hati kecilku.
"Ya, aku bisa lihat ruang hati ini. Suasana memang telah berganti," jawabku begitu saja.
Hati kecilku mengangguk-angguk senang.
"Kamu bisa melihat permasalahan adil dan keadilan, bukan?" tanya hati kecilku.
"Ya. Ya, di tengah-tengah ruang hati ini. Bukan begitu?" tanyaku sambil menatap nanap pada bongkah-bongkah adil dan keadilan yang berada
di tengah-tengah ruang.
"Bagus. Berbekal rasa dan penglihatanmu pada adil dan keadilan, apa yang akan kamu lakukan, seandainya kamu jadi Jaksa Agung?" tanya hati
kecilku.
Kini semakin jelas. Perasaanku mulai berkembang. Pikiranku pun bergerak. Tampak bongkah-bongkah adil dan keadilan itu mulai menangkap
bola-bola kebusukan di sekitar ruang hati ini.
"Seandainya aku jadi Jaksa Agung, akan kutindas habis segala macam kebusukan di negara ini," kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku.
"Jawabanmu belum seterang cahaya yang masuk ke ruang hati ini. Jawabanmu tidak sesegar udara yang masuk ke dalam ruang hati ini," respon
hati kecilku agak kecewa mendengar kalimat yang meluncur dari mulutku.
"Maksudmu?" tanyaku heran.
"Jawabanmu tidak terukur," tegas hati kecilku geram.
Mataku nanap ke ruang hati. Kini tampak bongkah-bongkah adil dan keadilan itu menguliti bola kebusukan itu. Ketika kulit bola kebusukan itu
terkelupas, tampak daging korupsi memberkas. Bersama daging korupsi, terpaut kolusi dan nepotisme.
"Akan aku tumpas KKN," jawabku seketika.
Hati kecilku semakin menggeleng-geleng keheranan.
"Kamu masih tidak rasional. Jawabanmu itu masih belum jelas. Masih belum terukur," kata hati kecilku setengah membentak.
Bentakan hati kecilku itu membikin aku benar-benar kaget. Bahkan surat kabar pun terlepas dari genggamanku.
"Coba perhatikan ke ruang hatimu!" perintah hati kecilku.
Aku semakin nanap menatap ruang hati. Dari daging KKN mencuat ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil Sidang Istimewa
Nopember 1998 lalu. Pada cuatan itu tampak agak yang menonjol adalah perintah untuk mengadili dengan tuntas dugaan kasus KKN yang
dilakukan Soeharto serta kroni-kroninya.
"Sudah tampak?" tanya hati kecilku.
"Ya. KKN Soeharto dan kroninya."
"Bagus. Bagaimana caranya?"
Mataku menatap ke ruang hati. Tertuju ke bongkah adil dan keadilan. Kemudian menjurus ke bola kebusukan yang kulit KKN sudah terkuak.
Dan dalam daging KKN pun mencuat ketetapan MPR. Ketika mataku menatap lebih nanap lagi pada ketetapan MPR itu, tampak di pusatnya
menggelinding batu-batu bukti..
"Aku harus kumpulkan bukti-bukti Soeharto itu KKN," jawabku.
"Wah, kamu sudah agak maju…" hati kecilku mulai menurun temperamentalnya.
"Tapi…."
"Ada apa?" tanya hati kecilku.
"Aku tidak melihat ada bukti Soeharto itu telah KKN. Bagaimana aku bisa menyeretnya ke pengadilan…," kataku.
"Biar pun majalah Time sudah membeberkannya?" tanya hati kecilku.
"Ya. Aku rasakan sia-sia mencari bukti itu, biarpun dikejar dari Swiss hingga Austria," jawabku.
Ketegangan hati kecilku yang sudah menurun tadi, agak tersengat juga mendengar jawabku. Tampak hati kecilku mulai berang lagi.
"Kalau kamu cari bukti dengan cara konvesional, memang susah. Kamu bisa dapatkan buktinya dengan cara…."
"Dengan cara apa?" tanyaku ingin tahu.
"Soeharto dan kroninya harus membuktikan diri mereka bersih. Kekayaan mereka selama ini didapat bukan dari hasil KKN."
"Oya?!"
"Terlebih dahulu seret Soeharto ke pengadilan."
"Lho?"
"Tuduhanmu padanya sesuai Tap MPR, dan Soeharto harus membuktikan dirinya tak bersalah."
"Bukankah statementnya menyatakan tak punya uang sepeser pun?"
"Bukan sekadar statement. Historis kekayaannya dibentangkan jelas di pengadilan, dari mana asal kekayaannya itu. Bila terbukti di suatu hari
kelak, ternyata ada yang disembunyikan dalam persidangan itu, tentu risikonya akan semakin berat bagi si tertuduh."
Tiba-tiba mataku menatap di dalam bola kebusukan itu, terdapat benjolan suap. Dan entah bagaimana, pikiranku ikut terpacu. Semakin mantap
bergerak di ruang hati ini.
"Semua itu kamu lakukan demi adil dan keadilan," kata hati kecilku.
"Kamu ini menggurui sekali. Aku ini manusia, pasti ada salahnya…"
"Betul. Pasti akan ada yang menyuapmu. Apalagi dalam masa canggih sekarang ini, kejahatan bergerak lebih cepat dibanding aparat. Termasuk
kejahatan ekonomi."
Dan di ruang hati ini berkumpul wajah-wajah Prajogo Pangestu, The Nin King dan sejumlah konglomerat lagi, yang sedang diperiksa aparat
kejaksaan, sebagaimana yang ditulis koran-koran akhir-akhir ini. Mereka adalah taipan-taipan kita semasa Orde Baru, yang gampang sekali
menggaruk kredit ke bank-bank pemerintah dan kini bisa mengemplang utangnya.
Pikiranku mulai jernih.
"Ya, aku akan periksa sedetail mungkin, seberapa banyak harta negara yang masih bisa diselamatkan. Tentu aku akan segera proses kasusnya
ke pengadilan, sehingga pengemplang utang lainnya akan jera dan segera lunasi utangnya…"
"Kalau istrimu minta berlian? Kalau istrimu ingin belanja ratusan ribu dolar AS di negara Paman Sam?" hati kecilku mencecar.
"Jaksa Agung adalah jabatanku, bukan jabatan istriku. Jabatan istriku adalah pasangan suaminya di rumahtanggaku, adalah aku. Penghasilanku
bisa kubawa ke rumahtanggaku dan baru istriku bisa menikmatinya."
"Kalau para tersangka yang kamu periksa itu transfer uang ke rekeningmu atau rekening istrimu?"
"Pertama, aku heran, bagaimana mereka tahu rekeningku dan rekening istriku? Bank sudah tak aman, bisa membocorkan nomor rekeningku dan
nomor rekening istriku. Padahal nomor rekening itu termasuk kerahasiaan bank. Sedangkan aku dan atau istriku tak akan pernah memberikan
nomor rekening itu pada mereka."
Hati kecilku terpana mendengar celotehku.
"Kemudian, saat para tersangka yang kuperiksa ini mau coba-coba suap, tentu hal ini bisa kujadikan bukti adanya indikasi kuat keterlibatannya
terhadap tuduhan. Konglomerat itu amat ahli soal kalkulasi. Tak mungkin air beriak begitu saja. Pasti ada apa-apanya," kataku penuh semangat.
"Kamu belum jawab, kalau isterimu minta berlian?"
"Keherananku semakin bertambah-tambah. Kok isteriku jadi suka berlian. Aku akan ultimatum pada isteriku, kalau mau berbelanja hanya
dengan penghasilanku. Kalau penghasilanku belum cukup untuk membeli keinginannya, ya tak usah beli."
"Hmm… Namanya juga manusia. Tak bisa selalu bersih. Kamu bisa saja mabuk jabatan. Lantas kamu mau terima suap. Katakan, seperti yang
ditulis koran-koran, Rp 9 miliar itu mengalir ke rekeningmu dan istrimu. Padahal uang itu berasal dari orang-orang yang sedang kamu periksa…"
"Aku akan heran, kenapa aku mau terima suap? Padahal hati kecilku, yaitu kamu, akan menolak suap ini. Di dalam ruang hati ini akan kita
bersihkan dari segala macam kebusukan."
"Kalau ada orang yang melaporkanmu?"
"Aku akan menghadap Presiden. Aku minta berhenti dan jelaskan permasalahan. Kemudian aku kembalikan seluruh dana itu ke kejaksaan
sebagai bukti bahwa orang-orang yang kuperiksa dulu telah menyogokku. Lantas akan kupertanggungjawabkan segalanya di pengadilan."
"Saat itu kamu seperti tak punya perasaan?"
"Maksudmu?"
"Kamu tak marah dilaporkan oleh seseorang, saat kamu sedang menikmati jabatanmu."
"Buat apa marah. Justru aku bersyukur, karena ada yang mengingatkanku. Ada kontrol, sehingga aku tak akan tersesat semakin jauh."
"Apa kamu tak takut kehilangan jabatan?"
"Kenapa harus takut. Kita kan tadi berandai-andai. Seandainya…aku jadi Jaksa Agung, ya aku harus bertindak bersih. Dan, kalau jabatan Jaksa
Agung itu hilang dari tanganku, ya aku bisa mengkhayalkan jabatan lainnya lagi. Barangkali aku akan mengkhayalkan, seandainya aku jadi
Presiden, misalnya….."
Hati kecilku tertawa mengakak.
Jakarta, Juni 1999
BIODATASutan Iwan Soekri Munaf (nama pena dari Sutan Roedy Irawan Syafrullah). lelaki kelahiran Medan – 04 – 12 – 1957, adalah penyair dan
sastrawan yang pertama kali memuat tulisannya di Ruang Kecil asuhan Kak Tina pada Harian Kompas tanggal 3 Juli 1971. Pernah kuliah di
Departemen Astronomi ITB dan lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad, dan kemudian menjadi wartawan di berbagai media massa..
Pada tahun 1981 mengikuti Hari Puisi, di Kem Kijang, Kota Bahru, Kelantan dan Hari Sastra & Cerpen, di Kuala Trengganu, Trengganu,
keduanya di Malaysia.